-Pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak penghasilan (PPh) yang tidak benar berisiko paling besar menjadi tindak pidana asal pencucian uang. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak (DJP) mengatakan tindak pidana perpajakan yang paling berisiko menjadi tindak pidana asal dari pencucian uang selama ini adalah faktur pajak fiktif.
Berdasarkan catatan DJP, pengisian SPT tidak benar dilakukan dengan cara tidak melaporkan pajak terutang yang sebenarnya, mengecilkan nilai omzet, membesarkan biaya, menyembunyikan pendapatan, atau cara-cara lainnya. Selain mengenai tindak pidana perpajakan yang menjadi tindak pidana asal pencucian uang, ada pula bahasan terkait dengan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 11%. Kemudian, ada bahasan tentang bukti pemotongan/pemungutan (pot/put) unifikasi. Terdapat banyak cara yang digunakan pelaku dalam melakukan pencucian uang atas dana hasil tindak pidana perpajakan. Salah satunya adalah menyembunyikan omzet dan mengurangi laba dengan transaksi penjualan yang dimasukkan ke dalam rekening orang pribadi. DJP mencatat telah menerima 6,39 juta pelaporan SPT Tahunan 2021. Dalam data yang dirilis DJP, penyampaian SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi mencapai 6,2 juta. Sementara pada wajib pajak badan, baru 189.485 SPT. “Dari target rasio kepatuhan penyampaian SPT Tahunan sebesar 80% untuk tahun 2022, hingga 15 Maret telah tercapai sebesar 33,63%,” bunyi keterangan DJP.
Untuk Laporan Perpajakan dan Keuangan anda hanya melalui Hive Five.